Rasanya tidak mungkin ada satupun manusia di dunia ini yang tidak pernah merasa marah dalam hidupnya. Marah adalah sifat manusiawi, hanya saja masing-masing orang tentu memiliki kadar amarah yang berbeda takarannya. Ada yang kena senggol sedikit saja sudah langsung marah. Ada pula yang udah dizolimi sedemikian kejamnya namun belum mampu membawanya ke titik kemarahan.
Ada cerita menarik yang terjadi di malam ini. Tadi sehabis maghrib, aku dan pacarku bermaksud santai di siring sambil menikmati jagung bakar yang menjadi makanan wajib di sana. Setelah sampai di TKP dengan mengendarai motor, mau tidak mau aku harus berhenti sejenak sembari menunggu jalanan lempang karena tempat parkir motor dan juga tempat makannya berada di seberang jalan.
Namun tanpa diduga, disaat aku menengok ke belakang untuk memastikan tak ada kendaraan lain yang lewat, ternyata dari arah depan sebuah mobil berwarna hijau berjalan mundur dan menabrakku sehingga motorku pun sedikit terbenam di bawah mobil tersebut. Bukan kecelakaan yang besar memang, karena mobil tersebut mundurnya dengan perlahan saja. Tidak ada kerusakan berarti pada kendaraan kami, dengan keadaan seperti itu kupikir sudahlah tak perlu untuk memperpanjang masalah ini. Namun respon dari pengendara mobillah yang membuat cerita ini menjadi panjang.
Mobil itu berisi dua orang. Yang satu, masih muda. Mungkin seumuranku atau bisa juga lebih muda sedikit. Ialah yang mengemudikan mobil tersebut. Makhluk yang menjadi sumber masalah adalah yang satunya, yakni seorang bapak-bapak paruh baya. Tubuhnya tidak begitu besar, tampang juga tidaklah sangar. Namun ekspresi dan kata katanyalah yang membuat hatiku jadi gusar. Bagaimana tidak? dengan kejadian yang jelas-jelas adalah salah pengemudi mobil yang menabrakku, sang bapak malah memutar balikkan fakta dan menuduh akulah yang menabrak mobil tersebut sambil marah-marah.
Kaget, pasti itulah respon pertama yang kukeluarkan. Respon kedua yang ideal mungkin adalah marah.
Iya, sebenarnya aku ingin marah!! si Bapak ini gayanya sangat sok jagoan. Sampai menantang ingin berkelahi segala, mengaku kuat dan tidak takut dengan apapun. Aku yang merasa benar jelas membantah tuduhan kalau akulah yang menabrak mobil yang mereka kendarai, nada bicaraku sempat meninggi.. sampai sebuah tepukan kecil dipundakku menyadarkanku.
Pacarku memberikan tepukan ringan di pundakku, entah karena dia takut melihat ekspresi bapak tersebut atau karena ia ingin agar aku jangan terpancing amarah. Namun apapun alasannya, tepukan itu sukses membuat aku mengendalikan emosiku dan mengendalikan keadaaan.
"Manusia yang paling kuat bukanlah manusia yang bisa menghancurkan segalanya, manusia yang paling kuat adalah dia yang mampu mengendalikan amarahnya"
Kutipan di atas adalah perkataan guru Agamaku sewaktu di SD. Nasihat tersebut kudapat saat aku berkelahi dengan teman sekelas hanya gara-gara kami bersenggolan saat aku ke luar kelas dan dia mau masuk kelas. Akibatnya, kami berdua pun dihukum seharian berdiri di depan kelas hingga pelajaran usai. Sejak kejadian itu, aku mulai belajar untuk mengendalikan amarah.
"Yang akan tersisa dari amarah yang meluap-luap hanyalah penyesalan"
Kembali ke permasalahan mobil tadi. Si Bapak masih menantang untuk berkelahi, sementara aku lebih memilih untuk diam saja dahulu sambil memperhatikan keadaan sekitar. Jujur, aku sudah merasa tidak nyaman karena semua orang di sana memandangi kami. Mungkin mereka berpikir malam ini akan dapat tontonan tinju gratis secara langsung di hadapan mereka.
Si Bapak masih mengintimidasiku yang tidak mau mengakui kalau akulah yang menabrak mobil beliau. Sebagai orang yang memiliki harga diri, tentu aku tidak akan mengakui kesalahan yang tidak aku lakukan. Bapak itu menyuruhku minta maaf, oke aku meminta maaf atas segala yang terjadi. Tapi bukan berarti aku mengakui kalau kejadian itu adalah kesalahanku.
Kata maafku tadi rupanya membuat dia (maaf, aku memakai kata "dia" bukan "beliau" soalnya kata ganti "beliau" bagiku hanya pantas diperuntukkan bagi orang terhormat) kehabisan bahan untuk marah, akhirnya diapun menyuruhku untuk pergi dari situ.
Pergi? Kami (aku dan pacarku) ke sana dengan tujuan bersantai sambil makan jagung bakar. Untuk itu kami tak lantas pergi jauh, kami tetap berada di sana dan mulai menikmati jagung bakarku. Si Bapak rupanya diam-diam masih memperhatikan kami.
Saat lagi asik-asiknya menikmati langit malam dan jagung bakar, tiba-tiba si Bapak datang dan memanggilku lagi dengan kasar. lagi-lagi karena tak ingin jadi pusat perhatian karena keributan, akupun menghampiri dia untuk menyuruhnya duduk dan membicarakan semuanya secara baik-baik. Dengan congkaknya dia masih berlagak jagoan dan menantangku berkelahi kalau aku tidak mau ganti rugi atas apa yang terjadi pada mobilnya. Dalam hatiku berkata: "Ya Allah.. kenapa ada manusia yang begitu keras kepala seperti dia di dunia ini"
Untungnya, aku benar-benar sudah menguasai keadaan. Aku tak peduli lagi pada tatapan puluhan orang di sana yang memandang kami. Aku berada di pihak yang benar, dan aku jelas jelas tidak salah. karena itu aku tidak akan pernah takut.
"Beranilah jika kamu benar, kamu hanya pantas takut jika kamu salah"
Kutipan di atas adalah kuambil dari nasihat Ayahku. Aku lupa kapan Beliau mengatakan hal tersebut, tapi yang pasti kata-kata itu sudah tertanam dalam otakku dengan sangat dalam.
Dengan nada dan intonasi sedang, aku mengajaknya berunding dan saling menganalisa bagaimana rekonstruksi kejadian tadi. Dasar orang tua keras kepala, Dia masih saja ngotot mengatakan kalau akulah yang salah dalam kasus ini.
Untuk mempertegas pembelaanku, aku menunjuk seorang pedagang yang ada disana untuk menceritakan dari sudut pandang dia. Sayangnya, yang pedagang sepertinya takut terlibat dan memilih untuk berkata kalau dia tidak melihat kejadian tersebut.
Tidak ada bantuan dari luar, okey.. aku akan berusaha sendiri untuk meruntuhkan argumen si tua keparat ini.
Awalnya dia ngotot berkata seolah aku yang salah karena saat mengemudi, dia sudah memberi tanda untuk mundur dan aku menabrak mobilnya dari belakang.
Pernyataannya langsung aku bantah, karena aku jelas jelas melihat kalau yang mengemudi bukan dia. Tapi rekannya yang lebih muda tadi. (1-0, anda mulai ngawur).
Dia mengklarifikasinya kemudian, dan mengatakan memang yang mengemudi adalah supirnya.
Catatan: jujur sebenarnya kalau dilihat dari penampilan, Si Bapak tua itulah yang lebih pantas sebagai supir. Tapi aku tak mau membahas itu, tidak penting!!
Aku menyuruhnya untuk memanggil sang "supir". Aku selalu percaya dalam setiap pemecahan masalah selalu lebih baik ada orang ketiga, sebagai penengah. Meski kali ini jelas-jelas sang orang ketiga bukanlah penengah, melainkan sumber masalah. Namun aku masih percaya.. karena itu tadi.. aku yakin, aku benar.
Sang Supir sudah berdiri disamping Bapak itu, Tampak jelas di wajah si supir kalau dia sedang gugup. Melihat peluang untuk melakukan intimidasi, aku langsung menekannya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Pengakuannya jelas jelas meringankanku, dia keceplosan kalau dialah yang menjalankan mundur mobil tersebut. Tapi kemudian dia berdalih sudah memberi tanda berupa lampu.
Si Bapak langsung memotong, "Tuh, kan kamu yang tidak lihat-lihat ke depan. Aku melihat kamu tadi keluar dari gang itu, lalu belok dan menabrak kami"
SKAK!!
Si Tua mulai memperlihatkan kerabunannya. Jelas-jelas tadi aku datang dari arah LURUS, bukan keluar dari Gang, (2-0, Anda semakin ngawur)
Aku hanya tertawa dengan ocehannya yang semakin diluar logika itu.
Tapi dasar si tua kolot suka ngeyel, kali ini dia malah mengatakan sebelum menabrak mobilnya, aku mengobrol bertiga, dengan pacarku dan juga seorang wanita teman kami yang satu lagi.
Aku semakin tertawa sinis.
SKAK LAGI !!
Bapak itu mulai menunjukkan tanda-tanda kepikunan. Hellllooow... sejak kapan kami bertiga? memangnya di Banjarmasin ada aturan pengendara motor harus Three In One gitu? yang ada malah diciduk sama polantas nanti. Si supir sepertinya sudah gerah dan tidak tahan dengan kengeyelan sang majikan (meski aku yakin kalau dia bukan majikannya) kemudian menjelaskan kalau kami memang hanya berdua saja.
(3-0, You're in a Trouble Sir..)
Aku semakin di atas angin, jika dalam pengadilan resmi, aku yakin sudah memenangkan kasus ini karena sang penggugat jelas jelas tidak dapat dipertanggung jawabkan segala kata katanya, bahkan mungkin bisa divonis mengalami gangguan jiwa, atau bisa juga kambuhan dari penyakit manula.
Merasa tertekan, si tua mulai mengoceh lagi tentang betapa dia tidak takut dengan apapun, biarpun polisi atau tentara, dia sudah biasa berurusan dengan mereka. Intinya dia adalah jagoan yang harus ditakuti, dan dia mengancamku untuk membawa masalah ini ke kepolisian.
"oke, setuju" kataku santai.
SKAK MAT !!!
Si Curut Tua terdiam, ia lantas berdiskusi lirih dengan si supir gadungan. Kemudian menyuruhku pergi dari situ.
Sebelum pergi, aku kembali meminta maaf kepada mereka. (Maaf karena aku bukanlah orang yang gampang digertak, maaf karena aku tidak bisa dan memang tidak harus memberikan ganti rugi seperti yang mereka gugat, dan maaf karena membuat siTua bakal tidak bisa tidur nyenyak malam ini)
Comments
Post a Comment